Manifestasi Rindu

Oleh : Tegar Dwi Pringgoro

 

Seperti dupa, rindu itu merebak memenuhi sebuah kamar dan isi kepala.

Di jalan pulang hanya ada kita bertiga: aku, ibu, dan bapak. Sembari menapaki jalan kerikil dan menghitung bintang.

Dalam sepanjang perjalanan mereka berdua membisu dan tak pernah terpikirkan bahwa itu adalah kali terakhirnya kita dapat bertemu.

“Akankah kita sampai pada waktu yang didamba, atau hanya mampu melangkah setengah perjalanan?”, kataku.

“Entahlah”, jawab kalian dalam penuh keraguan.

“Mari saling mengusahakan”, aku mencoba meyakinkan.

Alih-alih kalian diam. Barangkali coba meluruskan benang kusut di kepala.

“Kalian tau aku mahir dalam menunggu, tidak perlu terburu-buru”, kataku lagi.

Kalian hanya terdiam, pertanda memporak-porandakan.

Baiklah. Aku pikir cinta memang harus menerima, menerima bahwa arah hati kalian telah berbeda, dan bahwa rindu itu bukan lagi milik kita. Aku pikir cinta juga harus mengerti, mengerti bahwa kita telah berhenti berbagi cerita. Dan aku pikir cinta juga bisa sendiri, tanpa ada kata saling dalam melengkapi.

Malam tak cukup waktu untuk menuding, bahwa semua yang berkobar dan membara adalah rasa takut. Takut untuk merindu dan menemui kalian.

Tak sesuatu yang benar-benar diciptakan untuk kekal; rumah dengan segala isi kehangatannya. Pergi dengan segala apa saja yang tak mengenal tinggal.

Kita digilas oleh acuhnya waktu, kalian tau. Tak ada segala sisi darinya yang coba mengalah untuk berhenti, terus melindas, mengandaskan usia kecuali satu; waktu tak sanggup membunuh sesuatu yang hakikatnya abadi—residu memori.

Kita pernah serumah, walau akhirnya antah berantah. Kita pernah mengasihi, walau akhirnya terasingi. Kita pernah bersyukur, walau akhirnya tersungkur.

Ketahuilah masa di mana semuanya berlari pergi. Semua yang tumbuh, kembali dan berlabuh, bukti segala hal mempunyai samudera dan satu kapal yang karam.

Hari ini atau nanti, besok atau lusa, sewindu kemudian, perpisahan tetaplah perpisahan. Dan pasti akan menyapa kita semua, entah kapan. Ia adalah peristiwa yang akan selalu menyisakan getir bagi pihak yang ditinggalkan. Siap tidak siap, ia pasti datang.

Poros ingatanku hanya satu; tubuh kita pernah saling merangkul, saling telfon dan rindu. Aku simpan memori dengan kalian. Bertatapan pada sofa yang cemburu. Hingga akhirnya, menemuinya saja aku tak pernah, merindunya saja aku mati tersiksa, dan mengulanginya aku hanya bisa berdoa.

Namun, bayang-bayang dan pertanyaan selalu menghantuiku.

Sepincang inikah kita sekarang? Kita tak lagi saling menggenggam, tertawa bahkan tak lagi bisa lepas bahagia. Jika tulisan yang aku buat ini ibaratkan kita sebuah jeda; panjang, dipisahkan angan, dan tak mungkin jadi kesatuan. Aku berdoa semoga semua menuju satu muara yang sama, walau nyatanya sudah tak lagi saling berbagi cerita.

Waktu terus berlalu: sehari, seminggu, sebulan, dan setahun. Mencoba membunuh, dengan cara apa saja asalkan tidak terus menghantui isi kepala. Bersua dengan kawan lama, berbincang dengan buruh angkringan, membaca beberapa buku-buku yang telah dibeli tiga minggu ke belakang, apa saja.

If you love somebody, let hem go, for if they return, they were always your. And if they don’t, they never were.”

Dan mencoba mengamini petuah Khalil Gibran untuk sedikit menanggalkan isi pikiran yang semrawut dan menjadi obat sementara. Aku sedikit merasa satu nasib dengan dia. Lahir dan besar dalam keluarga yang memiliki porsi problemanya sendiri. Aku dengan keluarga yang sedang di ambang kehancuran, dia dengan keluarga yang tidak berkecukupan, bahkan masa kecilnya sangat tidak ramah dengan bangku sekolah di Lebanon.

Namun, tidak menjadi alasan untuk berhenti melangkah. Dari keterpurukannya ia mampu bangkit dan bahkan menjadi termahsyur dengan beberapa karya-karyanya. Sebab benar, bahwa diam tidaklah kurang dan lebih hanya sebagai pemenjara diri dari bisingnya isi kepala serta muramnya realitas. Bahkan tertera dalam salah satu lirik lagu musisi yang kerap beberapa kali saya dengar, Sombanusa, dengan judul lagunya Hansinah “Diammu takkan hadirkan perubahan.”

Bergerak, untuk merekonstruksi hidup dari impitan dua dinding gurun yang gelap, guna melahirkan cahaya yang terang di penghujung jalan. Walaupun akan disambut kembali dengan keadaan dan warna yang sama, paling tidak aku enggan berlarut-larut dalam masa yang cenderung statis.

Saat ini, hitam adalah warna yang merepresentasikan segalanya. Mataku terbuka dan tertutup dengannya. Semua yang kutemui hitam dan tidak pernah berarti. Di awali hitam, dan di tutup dengannya pula.

Tidak ada yang mencintaiku dengan benar, semua sangat menyakitkan. Terlalu terang, mencolok dan dibuat-buat. Aku menetapkan hitam sebagai yang paling mengerti aku, kecuali Tuhan mengambilnya dari jangkauanku.

Jika ada manusia seantero dunia ini yang tidak suka hitam, aku bersumpah, bahwa ia terlalu angkuh. Lagi pula mengapa harus tidak suka dan memperdebatkan warna tersebut?

Konon hitam dikorelasikan dengan malam, waktu dimana kriminalitas mulai muncul di permukaan dan dikatakan amoral. Apa ukuran seseorang bisa dikatakan melakukan tindakan amoral? Jalang yang mencari nafkah? Maling yang sedang mencukupi kebutuhan keluarganya?

Bukankah moralitas sebagaimana yang dikritik habis-habisan oleh Nietzsche hanya tercipta untuk membatasi dan mengalienasi manusia dari kreativitas dan kapabilitasnya. Baik dan jahat, indah dan tidak indah, benar dan tidak benar. Mengapa tidak menciptakan moralitas sendiri atau bahkan menghapusnya barangkali sekaligus?

Toh, pada akhirnya sesuatu yang benar belum tentu juga tidak salah. Dan sesuatu yang salah belum tentu juga tidak benar. Katakanlah itu hanya sebuah kontemplasi menurut ilmu matematika. Tergantung lantaran apa yang mendorong untuk mengintepretasikan dan mengimplementasikannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *