Selayang Pandang Anak Muda Dalam Realita Ketidakpastian Penghidupan Negara

Refleksi Peringatan Hari Buruh Internasional dan Hari Pendidikan Nasional

Oleh : Mohammad Noor Cahyadi (Ketua Umum Korps Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Periode 2020/2021)

Permulaan
Anak muda sebagai pemegang kemajuan sebuah peradaban di era saat ini niscaya makin benar adanya. Anak muda ialah penentu arah tujuan serta masa depan dari sebuah bangsa dan negara. Fase-fase yang dihadapi oleh anak muda merupakan masa pencarian dan pemantapan jati diri. Berbagai fase yang dilalui tersebut membuat anak yang sudah mulai tumbuh dan melewati fase remajanya mencoba untuk menerima masukan dari berbagai sisi dan lebih open minded sehingga dapat berperan besar terhadap pembangunan bangsanya. Bagaikan tunas yang sedang mengembangkan ranting-rantingnya, anak muda senantiasa diyakini memiliki rasa keingintahuan yang tinggi, kreatif, produktif, inovatif, serta dinamis.
Rasa optimisme dari generasi muda ini sebenarnya sudah sejalan dengan apa yang dicanangkan oleh Pemerintah Pusat melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun (RPJPN) 2005-2025 yang di dalamnya terdapat aspek pembangunan sumber daya manusia untuk semua. Berangkat dari hal inilah yang menguatkan argumentasi bahwa peringatan hari buruh internasional dan hari pendidikan nasional sudah semestinya tidak dijadikan kegiatan monumental sebatas peringatan saja.

Selayang Pandang Buruh dan Kesejahteraannya
Gerakan buruh sudah sejak lama diusung sebagai medium untuk mengantarkan buruh masuk ke dalam gerbang kesejahteraan yang diidamkan. Gerakan ini pada mulanya diinisiasi oleh para buruh sebagai respon atas penindasan kaum pengusaha. Penindasan-penindasan tersebut bisa berupa pemberian upah rendah, tidak adanya jaminan kerja sampai hari tua, jam bekerja yang panjang, dsb.
Bagaimanapun juga peran buruh dalam hal pembangunan perekonomian maupun dalam rangka gotong-royong dengan pengusaha untuk sama-sama berperan dalam pembangunan bangsa tidak dapat dinihilkan adanya. Salah satu strategi yang dipakai dalam memaksimalkan peranannya ialah menguatkan peran buruh sebagai elemen pilar demokrasi. Gerakan buruh ini merupakan gerakan perubahan sosial. Gerakan yang menitikberatkan pada perlawanan terhadap ketidakadilan dan belum meratanya kesejahteraan yang dirasakan oleh buruh.
Dari banyaknya kepentingan yang dibawa oleh pergerakan buruh ini menyoal kesejahteraan yang belum diterimanya. Kenyataan menunjukkan bahwa identitas buruh hanya semata-semata dibentuk oleh posisi kelas yang ada. Aksi kolektif yang digagas para buruh tidak semata-mata bersinggungan dengan persoalan kelas (Saptari, 2013). Perspektif yang berbeda dari buruh dapat pula memiliki identifikasi yang kuat terhadap sentimen etnis, simbol keagamaan, maupun kesadaran gender, dan ketimpangan.
Salah satu produk nyatanya adalah Undang-Undang Cipta Kerja yang sudah diketok palu menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020. Dengan tingginya harapan pemerintah menyoal terbitnya peraturan perundang-undangan ini yang menyasar soal peningkatan kesejahteraan melalui penciptaan lapangan kerja seluas-luasnya.
Namun faktanya justru mendapat banyak pertentangan dan penolakan dari berbagai kalangan masyarakat utamanya para buruh. Dalih munculnya Undang-Undang ini ialah dengan asumsi memaksimalkan bonus demografi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu menjamin kesejahteraan bagi para buruh yang tengah berjuang di situasi Covid-19 yang masih melanda. Aktor yang dominan dalam hal ini lebih banyak berlatar belakang bisnis, sehingga semakin menguatkan hubungan antara bisnis dan politik. Hal ini justru tidak mengedepankan sisi civil society (para buruh).

Selayang Pandang Pendidikan Zaman Pageblug
Ki Hajar Dewantara memaknai pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan pikiran, budi pekerti, serta jasmani pada anak. Merujuk dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwasannya pendidikan dilaksanakan agar mendapatkan tujuan yang diharapkan yakni pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan, memberntuk watak, serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Esensi yang mulia tersebut tidak lantas membuat sistem pendidikan nasional yang ditempuh oleh anak muda di berbagai sudut negeri mampu untuk merasakannya secara merdeka. Jangan berharap sistem pendidikan nasional yang merdeka dan mampu menjangkau untuk semua tanpa tahu sebenarnya, “Apa tujuan kita sekolah?”. Isu terkait pendidikan menjadi isu yang terus bergulir dan senantiasa berkembang tak hanya reaksioner saja.
Sekolah sudah selayaknya menjadi medium penanaman bekal intelektualitas untuk dapat hidup bebas menentukan pilihan hidupnya sendiri tanpa pernah merugikan orang lain. Namun nyatanya sekolah hanya menjadikan kita sebagai sosok untuk melaksanakan apa yang semestinya saja dan cenderung untuk memproduksi manusia menjadi buruh yang selalu patuh kepada majikannya. Lantas, “Apakah sitem produksi manusia menjadi buruh itu bernaman sekolah?”
Bahkan realitanya pagebluk Covid-19 semakin membuat standar kecerdasan lingkungan sekolah justru makin mengikuti kebutuhan umum para pemegang industri. Sistem pendidikan yang seperti inilah yang menjeburkan individu merdeka agar mempunyai kemampuan intelektual dan ketrampilan yang sepadan dengan sistem pasar. Bahkan anehnya jam pembelajaran di sekolah cenderung mengikuti pola jam kerja buruh yakni 8 jam kerja.
Pendidikan hendaknya ditempatkan sebagai pengidentifikasi dan penganalisis yang kritis nan bebas menuju transformasi sosial yang dicita-citakan bersama. Tepatlah jika Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mengangkat tema, “Serentak Bergerak, Wujudkan Merdeka Belajar”, untuk tidak hanya gaung saja yang besar namun dampaknya juga nyata dalam perwujudan merdeka belajar yang sesunnguhnya.
Zaman pageblug sudah seharusnya membuat konstruksi akan dunia pendidikan di Indonesia harus berubah pula. Indonesia yang merepresentasikan sebuah negara bangsa yang multikultur diharapkan untuk tidak ragu akan arus ideologi pendidikan yang mengatasnamakan sistem pasar, konservativ, dan/ataupun liberalis untuk tetap kokoh berpijak pada karakternya sendiri. Namun pengejawantahan beberapa ideologi pendidikan ini selalu terbentur dengan negara sebagai simbol pemangku warganya yang karenanya dunia pendidikan itu sendiri belum mampu berdiri kokoh secara mandiri untuk lebih maju lagi, sehingga zaman pageblug ini dapat dijadikan momentum untuk melakukan perubahan sosial dalam dunia pendidikan kita. Sesuai dengan pandangan Durkheim yang menempatkan perubahan sosial berawal dari sebuah kilasbalik atau flashback yang dapat diwujudkan sebagai satu upaya instrospeksi dan rekonstruksi untuk mengumpulkan kegagalan dalam dunia pendidikan kita untuk dapat diubah agar tidak terjadi missing link antara produk sumber daya manusia pendidikan Indonesia dengan kehidupan yang serba cepat dan tidak menentu seperti sekarang ini.

Sekali lagi, selamat memperingati Hari Buruh Internasional dan Hari Pendidikan Nasional dari segenap Pengurus Korps Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UMY.
Hidup Mahasiswa, Hidup Rakyat Indonesia!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *