Komisi Pembajakan Korupsi?

Komisi Pembajakan Korupsi
Ilustrasi by Edi Wahyono

Oleh : Mohammad Noor Cahyadi (Ketua Umum Korps Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Periode 2020/2021)

Penurunan kualitas demokrasi sudah semakin jadi sejak adanya pelemahan dalam pemberantasan korupsi melalui revisi dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK. Revisi ini memperlihatkan adanya cermin politik hukum dari negara terkait arah kebijakan pemberantasan korupsi di masa depan (Yulianto, 2020). Jauh sebelum revisi ini dilakukan, proses penyelenggaraan negara dengan berlatar belakang demokrasi ala Pancasila pasca reformasi seolah terus menerus dipertanyakan eksistensi pelaksanaan keberpihakannya. Buku karya William Blum yang berjudul, “America’s Deadliest Export: Democracy The Truth About US Foreign Policy and Everything Else” mengajarkan bahwa konsep governance jika tidak ditelaah lebih lanjut akan menimbulkan bahaya yang tak terlihat. Poin pentingnya kemudian dari governance ini, negara dibayangkan bukan merupakan aktor tunggal yang mempunyai hak untuk mengatur daerah kuasanya tetapi negara dapat menjadi arena membludaknya relasi para aktor yang berkepentingan untuk menjalankan negara.

Melalui konsep seperti ini, governance mempersilahkan para aktor bisnis multinasional bisa menentukan secara langsung kebijakan suatu negara. Dalam konteks pengelolaan negara dunia ketiga seperti Indonesia masuknya para aktor bisnis multinasional bisa berdampak serius apabila posisi pemerintah sebagai pemangku kebijakan lemah sehingga alhasil bisa saja mempengaruhi pembentukan regulasi di negara ini salah satunya Undang-Undang Tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi. Lantas kemudian, apa yang dikatakan “Pembajakan Demokrasi” oleh William Blum benar-benar terjadi dalam kasus revisi UU KPK dengan melakukan pembajakan terhadap pemberantasan korupsinya. Namun dalam konteks ini tidak sepenuhnya serupa, karena dalam kasus KPK yang kebanyakan terlibat adalah aktor-aktor yang memiliki kekuatan untuk menekan nilai-nilai demokrasi dalam aras lokal termasuk kelompok elit dan bisnis namun tidak memungkiri aktor bisnis multinasional. Balik lagi kedalam penyelenggaran negara di era demokrasi, kondisi politik negara memang sebelum pandemi Covid-19 terjadi bisa disebut mengalami fase turning point bagi demokrasi itu sendiri.

Keadaan seperti ini dengan sengaja diciptakan oleh pemerintah melalui kebijaka-kebijakan kontroversialnya yang selanjutnya ramai diperbincangkan oleh publik. Kebijakan-kebijakan tersebut salah satunya juga menyasar Komisi Anti Rasuah yang selama ini menangai kasus pemberantasan korupsi. Dari kebijakan-kebijakan kontroversial tersebut memaksa mahasiswa untuk turun ke jalan lagi menembus batas-batas dari negara melalui aparatnya. Revisi UU KPK yang dipahami oleh banyak kalangan mengindikasikan upaya-upaya pemberantasan korupsi menjadi dalam pengawasan ketat pemerintah. Padahal justru pengawasan seperti ini dapat menjadi sebuah bencana besar bagi pelaksanaan pencegahan, pemberantasan, dan penindakan korupsi yang masif serta sistematis.

Dengan kondisi yang semakin menguntungkan para pemegang kekuasaan saja ternyata dalam masa pandemi Covid-19 yang masih terjadi sekarang juga makin menguatkan peran serta kedudukan pemerintah (negara). Sehingga apa yang dikatakan oleh Peter Evans, Dietrich Reuschemeyer, dan Theda Skocpol seolah benar adanya yakni Bringing the State Back In. Meskipun demikian, ketika besarnya kekuasaan yang dimiliki oleh negara tidak dibatasi maka akan mengarah kepada yang namanya “godaan totalitarian” (Steve Hank, 2020). Sehingga  apabila Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi tetap diberlakukan, maka akan merusak independesi dari KPK sebagai lembaga anti rasuah tersebut. Selain itu, dalam revisi UU ini juga dapat berdampak pada penempatan KPK dibawah cengkeraman eksekutif langsung dan merusak mekanisme internal terkait dengan penindakan korupsi itu sendiri.

Belum lagi isu yang baru beredar di tengah-tengah masyarakat soal alih fungsi status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), seolah-olah makin mencengkeram keindependensian dari KPK. Lantas, produk legislasi yang bermasalah ini justru akan menunjukkan semakin menguatnya konsolidasi oligarki. Belum lagi dalam UU ini juga mengakomodir tentang Dewan Pengawas yang memiliki kewenangan untuk tidak hanya mengawasi dan mengevaluasi saja bahkan sampai masuk kedalam keseharian teknis penanganan perkara. Yang paling mengherankan lagi ialah dalam UU KPK yang terbaru ini mengatur tentang kewenangan penghentian penyidikan dan penuntutan apabila tidak dapat terselesaikan suatu perkara dalam rentang waktu 2 tahun. Hal ini menurut peniliti Indonesian Corruption Watch Kurnia Ramadhana sangat diskriminatif dengan implementasi dari UU Kejaksaan dan Kepolisian. Dalam UU Kepolisian sendiri tidak dijelaskan mengenai batasan waktu dalam penghentian penyidikan.

Namun yang lebih menarik lagi ialah baru-baru ini serangkaian tes yang dilakukan oleh Badan Kepegawaian Negara dalam rangka seleksi pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN ramai diperbicangkan. Perbincangan ini menyeruak di publik karena daftar pertanyaan yang tercantum dalam tes seleksi alih status ini dinilai tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi pegawai KPK sebagai agen pemberantas korupsi. Padahal seleksi untuk menjadi pegawai KPK saja sangat sulit dibandingkan dengan seleksi ASN yang diselenggarakan pada umumnya. Perbincangan semakin hangat ketika nama Novel Baswedan menjadi salah satu nama yang disinyalir tidak lolos dari seleksi ASN KPK ini. Apakah ini semua dirancang untuk menyingkirkan sejumlah pegawai yang punya loyalitas tinggi terhadap penanganan kasus korupsi dan pemberantasannya, dan apakah skenario dari revisi Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002 semakin mengkerdilkan keseriusan peran negara dalam pemberantasan korupsi.

Jawabannya sedikit demi sedikit mulai terkuak saat KPK kecolongan soal kebocoran informasi penggeledahan Harun Masiku sehingga barang buktinya sudah terlebih dahulu dipindahkan. Belum lagi persoalan tentang BLBI yang tak kunjung terselesaikan. Malah yang paling baru setelah terbitnya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyelidikan), Presiden Joko Widodo langsung menekan Kepres Nomor 6 Tentang Pembentukan Satgas Penangangan Hak Tagih Dana BLBI. Satgas ini sendiri ditargetkan mampu merampungkan kasus ini hingga maksimal di tahun 2023. Dengan kegaduhan yang makin runyam maka dari rentetan alur terkait “Komisi Pembajakan Korupsi” ini merekomendasikan untuk memperkuat pengawasan, transparansi, dan sanksi pada setiap kegiatan pemerintah yang berhubungan dengan ekonomi dan sumber daya manusia. Analisa rekomendasi ini diperoleh dari, “Korupsi Di Indonesia (Penyebab, Bahaya, Hambatan, dan Upaya Pemberantasan, Serta Regulasi).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *