Perlawanan Itu Bernama Ketidakadilan? (Kasus KKB Papua)

Perlawanan Itu Bernama Ketidakadilan?
Ilustrasi.kartunmartono.wordpreess.com

Oleh : Mohammad Noor Cahyadi (Ketua Umum Korps Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Periode 2020/2021)

Kehidupan sehari-hari dalam berdemokrasi di negeri ini memang terus berjalan tanpa henti. Iklim berdemokrasi yang ada semakin hari bahkan mengandaikan setiap individu untuk bebas berkompetisi. Hal ini berakibat pada penguasaan terhadap sumber-sumber daya  produksi misalnya hanya menimbulkan dikotomi antara tanah yang diperuntukkan untuk masyarakat agraris atau teknologi diperuntukkan bagi masyarakt industri. Kejadian ini bisa menggambarkan bahwa praktik dominasi sumber daya produksi sebenarnya tidak cocok dengan iklim demokrasi yang baru disebutkan. Sehingga pada perjalanan demokrasi pada kemudian hari memetakan kondisi sedemikian rupa yakni masing-masing individu memiliki derajat kemampuan yang berbeda-berbeda untuk berkompetisi di arena pasar bebas yang bernama demokrasi.

Maka, tidak heran jika selanjutnya terdapat paradigma kategorisasi kelas dalam derajat relasi sosial masing-masing individu tadi seperti elite (the ruling elite atau the ruling class atau super structure) dan massa (subordinat atau public atau base structrure) (Tohari Amin, 2013). Pengalaman demokrasi yang terus berjalan juga mengandaikan untuk terus mengalami pendalaman atau deepening democracry. Perlu dipahami kemudian bahwa dalam konteks demokrasi indikator yang penting untuk menjaga marwah demokrasi tetap pada jalurnya adalah merawat kebebasan individu beserta preferensi politiknya. Namun, yang seharusnya dapat menjadi perhatian dalam merawat “demokrasi” sesuai dengan esensinya ialah negara mampu untuk menjamin hak-hak sipil dengan menempatkan kesejahteraan sebagai prioritas dalam proses-proses politik yang transformatif, Purwo Santoso dalam prolog buku, “Keluar Dari Demokrasi Populer (Dinamika Demokrasi Lokal dan Distribusi Sumber Daya)”.

Lantas, sejatinya mewujudkan iklim demokrasi yang menempatkan kesejahteraan bagi semua, tentunya harus menjadi peran bersama. Namun jika merujuk pada konsep demokrasi yang barusan saja diutarakan maka tanpa adanya distribusi kesejahteraan, tidak ada yang namanya demokrasi. Sehingga peran negara disini harus mampu untuk mendistribusikan kepastian akan jaminan kesejahteraan yang merata bagi semua warganya.

Menilik dari peristiwa lalu, realisasi dari pada konsep demokrasi mengalami jalan buntu ketika melihat konflik tak berujung antara Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua atau Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) dengan negara. Paling baru, laporan dari Detiknews pada Senin, 3 Mei 2021 yang memberikan informasi bahwa seorang Kabinda Papua Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha gugur usai kontak dengan kelompok kriminal bersenjata di Beoga, Kabupaten Puncak, Provinsi Papua. Bahkan ironisnya lagi aksi dari KKB ini juga merenggut nyawa 3 warga sipil Beoga. Aksi-aksi yang terjadi ini seolah membuat mata semua anak bangsa terpana akan konflik berkepanjangan yang terjadi ditanah papua.

Insiden yang telah disebutkan sebelumnya justru tidak boleh dijadikan alasan bagi pemerintah untuk meningkatkan kekuatan militernya yang selama ini sudah baku tembak dengan KKB Papua. Menerjunkan kekuatan militer secara masif tidak sepenuhnya diharuskan dalam rangka mengatasi problema yang terus-terusan terjadi di tanah Papua. Bahkan kekuatan militer setangguh apapun cap pasukan setan (Pasukan Yonif 315 Garuda) harus diturunkan menjadi sebuah indikasi bahwa pemerintah pun dengan sangat serius menurunkan kekuatan militer terbaiknya. Sudah sejak lama bahwa konfrontasi bersenjata sering kali terjadi di Papua. Sejak Presiden Soekarno berkonfrontasi dengan Belanda, maupun Presiden Soeharto dengan kekuatan militernya. Namun yang berbeda dalam hal ini, jika Presiden Soeharto membangun kekuatan militer untuk mempertahankan kekuasaanya sendiri maka Presiden Soekarno membangun kekuatan militer untuk menjaga kehormatan, keutuhan, dan kedaulatan sebuah bangsa-negara, Ferry Valdano Akbar dalam buku, “Konfrontasi Bersenjata Merebut Irian Barat” .

Pendekatan militeristik ini sejalan dengan pepatah klasik yang mengatakan bahwa “SI VI PACEM PARABELLUM” yang memiliki arti “Barang siapa menginginkan perdamaian, maka wajib baginya untuk bersiap-siap berperang”. Pernyataan ini jangan sampai dijadikan dalih mutlak oleh negara untuk lagi dan lagi menurunkan kekuatan militernya yang tangguh itu. Kekuatan militer tersebut tidak boleh jika hanya dimanfaatkan untuk menumpas Kelompok Kriminal Bersenjata karena dalam konteks ini bukan hanya soal menjaga kedaulatan negara saja. Namun, dalam menangani kasus tertembaknya Kabinda Papua dan 3 warga sipil Beoga Pemerintah justru memberikan pelabelan “Teroris” terhadap KKB Papua ini. Langkah ini cenderung tidak bijaksana menurut Tim Kajian Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bagi Tim Kajian Papua LIPI pelabelan ini merupakan skenario perang dari Pemerintah.

Pelabelan “Teroris” yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada KKB Papua justru mereduksi realitas perjuangan masyarakat di akar rumput. Tidak dapat dipungkiri bahwasannya problem sejarah dan status politik, kekerasan, pelanggaran Hak Asasi Manusia, kegagalan pembangunan, dan diskriminasi serta marjinalisasi terhadap Orang Asli Papua (OAP) menjadi segenap akar permasalahan dari konflik yang hampir setiap tahunnya terjadi di Papua. Apabila akar dari kejadian yang baru-baru ini terjadi di Papua tidak berubah sesuai dengan analisa dari buku yang mengulik soal dinamika ketidakadilan yakni, “Papua Roadmap” dan pelabelan tetap saja diberlakukan maka hanya akan menjadikan langkah dari pemerintah dan aktor pro perdamaian Papua pada kemudian hari menjadi semakin sulit untuk mengakhiri konflik Papua.

Sejatinya dari sejumlah langkah yang sudah dilakukan oleh pemerintah dalam menangani kasus yang terjadi di Papua dalam pelaksanakannya merupakan suatu langkah untuk mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otsus Papua soal kehadiran negara. Namun yang terjadi masih adanya parsialitas dalam pelaksanaan UU Otsus ini dan isu kesenjangan sosial antara Orang Asli Papua (OAP) dan warga pendatang malah semakin meningkat. Maka rekomendasi yang paling tepat menyoal problema yang dihadapi oleh masyarakat Papua yang diperoleh dari Papua Strategic Policy Forum (PSPF), “Desain Pembangunan Untuk Memproteksi Orang Asli Papua”, adalah mendorong percepatan pembangunan Papua yang berpihak pada kepentingan Orang Asli Papua (OAP) tanpa menegasikan peran dari sesama anak bangsa dalam membangun Papua.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *