PALESTINA DI TENGAH KEMELUT KEZALIMAN ISRAEL

Sebuah Ujian Bangsa Indonesia Atas Komitmen Konstitusi dan Memori Sejarah Bangsa

Oleh: Ahmad Baiduri

“ Tidak perlu menjadi Muslim untuk membela Palestina, cukuplah menjadi manusia untuk sadar dan berpihak membelanya!“ – Reccep Tayyib Erdogan

Palestine
Picture by New York Post

Gejolak konflik antara Palestina dan Israel semakin memanas. Konfrontasi yang senantiasa dilakukan oleh Israel di Tanah Palestina menjadi tekanan yang mendestruksi bangsa Palestina baik secara kondisi psikis, sosial, dan agamis untuk mematikan api perjuangan Palestina dalam membentengi wilayah yang menjadi kiblat pertama umat Islam. Tekanan demi tekanan tersebut tidak mampu menyurutkan ghirah warga Palestina untuk menegakkan aqidah dan memadamkan api semangat dalam mempertahankan wilayah yang bukan hanya secara teritorial menjadi hak wilayah Palestina, namun warga Palestina di garda terdepan berdiri menjadi benteng utama untuk memperjuangkan harkat, martabat, dan kehormatan umat Islam dunia.

Potret gejolak konflik dan penyerangan kepada Palestina semestinya menjadi benih kontemplasi yang menyadarkan bangsa Indonesia atas kezhaliman yang menyelimuti warga Palestina. Secara konstituisonal, Indonesia telah mengutuk tindakan Israel yang memberikan bombardier secara massif di Tanah Palestina. Termaktub pada pembukaan UUD 1945 dengan tegas sebuah ikrar tersebut tertulis dengan bijaksana bahwa, ‘Sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa. Dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan’. Kalimat yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 secara tegas memberikan sinyal kuat untuk merespon dengan arif praktik penjajahan di tanah Palestina oleh Israel, karena menyimpang dari nilai kemanusiaan dan keadilan yang manjadi salah satu khittah bangsa Indonesia.
Berdasarkan realitas tersebut, maka peristiwa yang menimpa Palestina menjadi ujian bagi bangsa Indonesia atas komitmen yang termaktub pada pembukaan UUD 1945. Apakah bangsa Indonesia turut menerobos kemelut krisis kemanusiaan Israel yang menyelimuti Palestina atau hanya menjadi penonton yang apatis terhadap praktik kezaliman yang jelas menyimpang daripada komitmen bangsa Indonesia yang tertuang pada Pembukaan UUD 1945? Tentu seluruh lapisan bangsa mempunyai peran signifikan untuk menggalang kekuatan bersama dalam rangka menunaikan komitmen bangsa Indonesia yang tertuang dalam konstitusi.
Meninjau dari realitas kondisi masyarakat Indonesia saat ini, masih banyak pendikotomian yang terjadi mengenai pendukungan dan penggalangan kekuatan warga Indonesia untuk Palestina. Masih banyak narasi ahistoris bertebaran yang menyatakan bahwa, “Indonesia tidak ada hubungan sejarah dengan Palestina”, “Palestina tidak memiliki jasa bagi bangsa Indonesia”, “Mengurus negara sendiri lebih penting daripada mengurus Palestina,” dan beragam kontra narasi lainnya yang tergolong narasi ahistoris. Karenanya, penting bagi bangsa Indonesia untuk me refresh kembali memori sejarah bangsa, dimana negara Palestina turut andil dalam melahirkan kemerdekaan untuk tanah air Indonesia.
Sebagaimana yang tertulis dalam buku ‘Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri’ oleh Muhammad Zein Hassan Lc, (Hassan, 1980) bahwa dalam memori kolektif bangsa, 77 tahun lalu tepatnya pada 6 september tahun 1944, seorang ulama besar Palestina yang bernama Syekh Muhammad Amin Al-Husaini dengan tegas, terang, berani, dan tulus mendukung kemerdekaan bangsa Indonesia bahkan sebelum lahirnya NKRI. Tatkala Indonesia dihimpit oleh desakan para kolonial, maka saat itulah sosok putra terbaik bangsa yang juga berperan sebagai sosok proklamator kemerdekaan yaitu Drs. Mohammad Hatta memberikan satu delegasi khusus pada PPKI untuk dapat menjumpai ulama besar Palestina tersebut dalam rangka mengupayakan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Dengan ikhtiar diplomatis kepada ulama besar Palestina tersebut, maka dengan tulusnya Syekh Muhammad Amin Al-Husaini mendedikasikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia hingga dengan tegas hasil diplomasi tersebut bergema pada seluruh relung dunia, melalui Radio Berlin berbahasa Arab beliau menyatakan kepada dunia bahwa ‘Indonesia telah meraih Kemerdekaan’ yang disebarluaskan secara dua hari berturut-turut. Potret diplomatis tersebut menjadi cerminan bagi bangsa lain untuk dapat mendukung kemerdekaan Indonesia sehingga melahirkan NKRI yang saat ini dengan tenteram dan damai dapat melaksanakan aktivitas sosial tanpa dihujani rudal, letupan suara tembakan, dan peluru yang senantiasa berjatuhan.
Tidak berhenti sampai situ, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini pun turut mendesak negara-negara Timur Tengah lainnya agar dapat mengikuti jejak beliau untuk menggemakan kemerdekaan bangsa Indonesia, sehingga dedikasi Syekh Muhammad Amin Al-Husaini disambut dengan baik dan gemilang oleh Mesir. Dalam rangka menggalang kekuatan untuk meraih kemerdekaan bagi NKRI, maka pada 22 Maret Tahun 1946 Mesir pun turut mendukung kemerdekaan bangsa Indonesia, dan menjadi negara kedua setelah Palestina yang mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia, berkat upaya tulus Syekh Muhammad Amin Al-Husaini (Nadia, 2019).
Di lembar sejarah yang lain, pada tahun 1952, ketika Muhammad Natsir menjadi pemimpin delegasi Muslim Indonesia untuk bercengkrama dengan bangsa Islam dunia dalam rangka memperkuat status kemerdekaan NKRI, dengan ketawadhuannya Syekh Muhammad Amin Al-Husaini kembali menyambut Muhammad Natsir sebagai pemimpin delegasi Muslim Indonesia, yang dengan penuh kehangatan dan dengan seduhan secangkir kopi sehingga menghadirkan keharmonisan dan dukungan secara luas untuk kemerdekaan NKRI dengan nilai-nilai kemerdekaan yang telah diraih. Tentu sosok ulama besar Palestina tersebut menjadi tokoh yang berpengaruh dalam menggalang kemerdekaan NKRI.
Tentu cuplikan sejarah di atas memberikan sebuah stimulus agar dapat membuka kembali lembaran sejarah terkait peran Palestina terhadap kemerdekaan bangsa Indonesia ditengah abu- abunya narasi yang menggema di media sosial yang menyoal tentang jasa dan peran Palestina bagi NKRI. Dengan melihat pergolakan narasi antara pro Palestina ataupun Israel di dunia maya, maka saat ini fakta lapangan yang menghidangkan berbagai kekerasan, represifitas, dan tindakan dehumanisasi Israel kepada warga Palestina seolah menjadi subjektif berdasarkan manipulasi dari media massa internasional yang memframingkan bahwa Palestina lah yang justru melakukan upaya konfrontasi terhadap warga Israel sehingga banyak pihak dunia yang mengalami misunderstanding atas informasi yang dipublikasikan oleh media Internasional.
Renungan atas komitmen yang tertuang dalam konstitusi dan jejak sejarah Indonesia atas hubungannya dengan Palestina haruslah menjadi kesadaran kolektif dalam membangun kemerdekaan Palestina secara paripurna atas penjajahan yang digelontarkan oleh Israel. Kendati pun dalam perpektif dan tata aturan hukum Internasional sementara ini sangat sulit bagi Palestina untuk merdeka, dikarenakan selain konflik yang sifatnya multi-dimensi, primodial, dan perennial, PBB tidak dapat turut menyelesaikannya. Pun dalam kasus kejahatan kemanusiaan Israel, mereka memiliki sekutu dalam Dewan Keamanan PBB, yaitu Amerika Serikat agar dapat melindungi kejahatan dehumanisasi tersebut. Namun bukan berarti karena tantangan tersebut perjuangan kita terhenti dalam menancapkan panji kemerdekaan bagi Palestina. Nilai serta perjuangan individu dan kolektif kelak akan menjadi kekuatan untuk menggalang kemerdekaan bagi Palestina, karena tidak perlu menjadi Muslim untuk membela Palestina. Hanya cukup menjadi manusia yang memiliki kesadaran akan kemanusiaan, untuk mendukung serta membela negeri para nabi, yakni tanah Palestina.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *