Titik Balik Degradasi Mahasiswa Angkatan Corona Sebagai Pembangun Karakter Bangsa

 

Titik Balik Degradasi Mahasiswa Angkatan Corona Sebagai Pembangun Karakter Bangsa
Potret pembelajaran jarak jauh di berbagai negata (Foto ilustrasi: pool)

 

 

 

 

 

Oleh : Mohammad Noor Cahyadi (Ketua Umum Korps Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UMY periode 2020/2021

Karakter adalah nilai yang unik dan terpatri baik dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku (Nasution, 2016). Sedangkan menurut Scerenko, pendidikan karakter merupakan upaya yang sungguh-sungguh dengan cara mana ciri kepribadian positif dikembangkan, didorong, dan diberdayakan melalui keteladanan, kajian, serta praktik atau usaha yang maksimal untuk mewujudkan hikmah dari apa yang diamati dan dipelajari. Dalam kehidupan modern yang kompleks ini, pembangunan karakter (character building) suatu bangsa terutama pembangunan karakter bangsa (nation and character building) harus dilakukan dari bawah serta adanya keteladanan dari atas yang dilakukan secara berkelanjutan.

Dalam kaitannya dengan hal ini peran mahasiswa sangat vital sebagai agen pembagun karakter dari bawah (bottom up) dengan dorongan semangat intelektual seorang mahasiswa muda. Dalam hal ini bagaimanapun, pelaksanaan “character Building” akan sekedar menjadi wacana belaka apabila tidak disertai kepemimpinan yang berintegritas dan kuat serta beretika (integrity, strong, and ethical leadership). Akan tetapi, sejauh ini kita semua baik dari golongan tua maupun golongan muda tidak mampu bersinergi dan bekerja sama secara maksimal. Padahal karakter sebagai bangsa yang unggul dan berbudaya diharapkan menjadi jati diri dan identitas bangsa Indonesia.
Pada perkembangannya, sejak terpaan krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997 bangsa Indonesia tenggelam dalam belenggu krisis karakter yang unggul dan berbudaya. Kini Indonesia menjadi bangsa yang kehilangan jati diri sebagai sebuah bangsa yang unggul dan bermartabat. Sebagai anak bangsa apalagi seorang mahasiswa di tengah pageblug Covid-19 yang masih melanda, sepertinya tengah merasakan bagaimana karakter dan moral ibu pertiwi berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Kondisi wabah yang masih merebak di tengah kehidupan bermasyarakat membuat setiap insan manusia dituntut untuk terus berbenah dan saling menyesuaikan. Tidak terkecuali para mahasiswa zaman ini sebagai entitas kaum intelektual yang masih menyesuaikan jati dirinya yang sudah tumbuh dengan zaman yang terus berubah untuk dapat mengepakkan pengabdiannya di tengah kehidupan masyarakat.
Tanpa disadari kehidupan mahasiswa beserta kampus merupakan dua hal yang berbeda. Namun secara pasti keduanya tidak dapat dipisahkan. Kampus sebagai tempat para mahasiswa muda untuk mereproduksi pengetahuan akademiknya dituntut harus terus cepat beradaptasi dengan situasi baru saat ini. Sementara itu mahasiswa muda karena tidak mau dianggap tua secara umur tidak lain harus menyelami dan beradaptasi dengan lingkungan era super smart society (society 5.0) yang mulai menyeruak. Dalam ruang-ruang kampus tersebut segala macam pengetahuan termasuk seluk beluk kehidupan saat ini menjadi bahan untuk diperdebatkan. Namun zaman pageblug ini relatif ruang-ruang kampus tersebut makin bergeser tidak karuan membosankannya menjadi ruang-ruang virtual saja. Padahal, ruang-ruang kampus dengan mahasiswanya dalam perkembangannya diyakini sampai sekarang masih sering diidentikkan sebagai lokomotif intelektual yang mempunyai kekuatan politik (intermediary) yang cukup disegani (Sair, 2016).
Namun kebimbangan justru hadir di kalangan mahasiswa muda untuk mengaktualisasikan nilai-nilai luhur dari kebudayaan bangsanya sendiri. Nilai-nilai seperti kemanusian dan gotong-royong masih terus mewarani proses perjalanan kehidupan kebangsaan dengan coba dipadukan dengan pola-pola baru era society 5.0 seperti creative problem solving dan critical thinking. Sejalan dengan adanya kebimbingan serta kompleksitas perjalanan bangsa seperti inilah sudah harus menjadi hal mendasar untuk dikolaborasikan bersama berbagai aktor intelektual demi perwujudan kesejahteraan dan keadilan untuk semua.
Jangan karena zaman pageblug ini malah menimbulkan sikap-sikap yang manipulatif dan koruptif yang menyudutkan salah satu elemen saja. Sehingga tepat jika terdapat upaya membangun sebuah karakter bangsa harus dengan dilandasi penegakan hukum yang kuat pual. Hal ini sesuai dengan ungkapan dari adagium, “Ubi Societas, Ibi Justicia” yang berarti dimana ada masyarakat dan kehidupan disana ada hukum yakni keadilan. Maka dari itu, sebagai solusi agar bangsa indonesia mengembalikan jati dirinya yang tetap teguh dengan harapan menjadi bangsa yang kuat, berkarakter maju, serta tetap mempertahankan dan mewariskan budi pekerti luhur maka tidak ada jalan yang lain bagi kita kecuali melakukan perubahan fundamental dalam hidup kita. Sebagai individu maupun sebagai bangsa ataupun figur mahasiswa muda bisa saling bergotong-royong untuk kembali membangun karakter bangsa dan jati diri ke-Indonesia-an kita.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *